Ruh Pendidikan Kita yang Sekarat

Entah darimana saya harus menulis tentang pendidikan karena begitu banyak potret yang berkaitan dengan pendidikan baik dari sisi prestasi yang membanggakan maupun dari sisi yang nyinyir yang memiriskan hati. Tulisan ini terinspirasi dari hasil diskusi sederhana antara saya dengan 2 orang teman saya. Teman saya yang satu adalah guru di salah satu pesantren dan yang satu lagi adalah calon doktor yang sebentar lagi lulus.



Perbincangan ini terjadi karena saat yang sama hari ini adalah tanggal 2 Mei dimana tiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan. Sebenarnya saya memulai dengan perbincangan ini dengan saya menceritakan bahwa saya sudah melihat video dimana ada sekumpulan anak muda yang melakukan kegiatan senang-senang atas telah selesainya Ujian Nasional. Kenapa saya membeberkan ini karena awalnya saya prihatin dengan sikap anak-anak muda ini. Kejadian ini terjadi di Jakarta dimana setelah selesai UN mereka mengadakan pesta bikini di salah satu tempat. Kegiatan mereka ini terorganisir dengan rapih dan baik karena menampilkan EO yang nampak nya sudah profesional. Dalam pesta ini bergembira bersama dan nyebur dalam kolam renang hanya dengan berpakaian bikini yang sangat mini dan diringi musik tripping.

Saya bicara dengan teman-teman saya, bahwa nampak nya ada yang salah dengan pola pendidikan di negeri ini. Sementara teman saya yang guru pun menanggapi bahwa kegiatan tersebut masih mending. Karena ada di salah satu kota di jawa beberapa tahun sebelumnya juga terjadi dimana mereka yang sudah selesai UN meluapkan kegembiraannya dengan menyewa kamar dan mereka melakukan ML (making love/bersetubuh) bersama-sama. Dan tambah teman saya bahwa di daerah Depok untuk anak tingkat SLTP yang negeri hampir bisa dipastikan 70% - 80% yang wanitanya sudah tidak perawan lagi (red: data ini saya masih belum yakin, karena belum ada penelitian yang lengkap dan benar). Hal ini dikarenakan guru-guru sekarang terutama di sekolah negeri lebih mengutamakan pembelajaran bukan pendidikan. Makanya anak didik yang tampil sekarang ini lebih dominan pintar dalam prestasi (intelektualnya) dibandingkan dengan sikap tingkah laku yang mulia.

Akhirnya teman saya yang calon doktor pun angkat bicara bahwa di salah satu perguruan tinggi negeri di bogor, sebagian besar mahasiswa yang punya kuasa. Karena bila mereka (mahasiswa) tidak suka dengan dosen tersebut maka mahasiswa tersebut akan mencoret mata kuliah tersebut dari KRS nya. Tambah teman saya, bisa dibayangkan kalau banyak mahasiswa yang ikut mencoret mata kuliah tersebut maka dosen yang bersangkutan akan dipecat dan tidak diberi jam pengajaran.

Belum lagi bila kita lihat di media baik media cetak, elektronik, maupun online yang mana anak sekarang dengan mudahnya menghilangkan nyawa sendiri atau nyawa seseorang entah itu temannya, orang tuanya, gurunya hanya karena persoalan yang sangat sepele. Persoalan yang seharusnya bisa terselesaikan dengan baik bila disertai dengan kearifan akhlak, moral dan sopan santun.

Dari gambaran di atas jelas sekali bahwa sebenarnya pendidikan kita menghasilkan manusia-manusia yang tidak mempunyai karakter moral yang kuat yang mengakar pada budaya kita sebagai orang timur, sebagai orang indonesia. Pada pendidikan terutama yang negeri, ini sangat terlihat sekali dimana pendidikan agama pada tingkat dasar atau menengah hanya diberikan 2 jam pelajaran selama seminggu. Dan itu pun yang berkaitan dengan ritual ibadah (hukum-hukum dalam beribadah) sementara pendidikan akan sikap atau pendidikan akan moral ini sudah tidak nampak baik secara eksplisit maupun implisit. Malah teman saya yang guru menambahkan bahwa kini dimana orang yang punya uang lebih, mereka lebih suka menitipkan anaknya pada sekolah berbasis agama yang terpadu atau pada pesantren-pesantren yang mereka yakini masih memberikan pendidikan moral setidaknya...

Dan pada sisi lain saya coba bandingkan dengan keluarga besar dimana ada beberapa keponakan yang sekolah di negeri yang mana di sekolahnya mereka ini cukup berprestasi tapi dari sisi moral mereka (menurut saya) kurang berakhlak, contohnya seperti terkadang duduk diatas kursi sementara ada yang lebih tua (dalam hal ini orang tua/nenek) yang duduknya di lantai. Kalau tidak ditegur maka seolah-olah cuek saja. Malah ada yang sambil tiduran di lantai kakinya diangkat diatas kursi.

Saya masih ingat dalam benak saya bahwa bagaimana saya diajar oleh guru saya tentang sopan santun terhadap orang tua ataupun yang dituakan. Sikap moral yang bagaimana yang harus ditampilkan di depan mereka. Ini semua terutama adab sopan santun, tata krama, moral akhlak pada sebagian anak-anak di kota besar sudah mulai sirna atau runtuh. Mungkin untuk di beberapa daerah atau daerah terpencil hal ini tidak terjadi. Sebenarnya saya tidak sepenuhnya menyalahkan anak-anak sekarang, karena mereka adalah hasil dari pola pendidikan yang ada selama ini.

Harus disadari bahwa dalam pola pendidikan kita terdahulu adalah pola paternal, dimana harus ada orang yang menjadi acuan contoh, panutan dalam pembelajaran maupun pendidikan. Kita bersyukur bahwa kita punya tokoh-tokoh pendidikan yang bisa menjadi contoh dan panutan. Kita juga punya Bapak Pendidikan yakni Bapak Ki Hajar Dewantara. Hanya saja kalau kita melihat pola pendidikan, sistem pendidikan dan hasil pendidikan sekarang ini maka sangat miris sekali. Ini sudah melenceng jauh sekali dari apa yang dicanangkan oleh para tokoh-tokoh pendidikan kita. Para tokoh pendidikan kita terdahulu lebih mengedepankan akan pendidikan akhlak atau moral dengan memberikan contoh dari dalam diri mereka sendiri.

Lain halnya dengan pendidikan sekarang ini dimana anak didik dipacu untuk berprestasi dalam suatu bidang ilmu tertentu. Kita bangga bila ada anak atau anak didik kita bisa menjuarai salah satu ajang lomba baik itu festival, olimpiade maupun yang keagamaan. kita bangga bila ada yang juara di lomba menggambar, mewarnai, fashion, olimpiade robotik, olimpiade matematik, olimpiade sain atau pun juara dalam MTQ. Tapi pernahkah kita punya anak atau anak didik kita yang juara dalam sopan santun, akhlak dan moral yang mulia? Saya yakin jawabannya tidak. Karena untuk menghasilkan anak yang juara dalam sopan santun, akhlak dan moral yang mulia butuh keterlibatan semua unsur elemen dalam lingkungan kita, mulai dari pola pendidikan, sistem pendidikan, SDM pendidikan dan yang terpenting adalah RUH Pendidikan sehingga menghasilkan hasil didikan yang benar-benar manusia seutuhnya.

Kita sudah berkali-kali gonta ganti kurikulum dalam sistem pendidikan, yang mana semua itu selalu akan menghasilkan anak didik yang bisa secara parsial pintar dalam bidang tertentu. Tapi tidak menghasilkan manusia yang seutuhnya.Walaupun dalam undang-undang pendidikan kita sudah termaktub untuk menjadikan manusia seutuhnya. Tapi kembali implementasi di lapangan, turunan dari undang-undang tersebut jauh dari tujuan utamanya. Karena dalam undang-undang pendidikan tersebut dimana RUH Pendidikan yang seharusnya menjadi bagian utamanya tidak tampil.

Seorang anak didik akan menjadi manusia seutuhnya bila dia diberi RUH yang benar-benar hidup dan diberikan oleh orang yang mengerti akan pentingnya RUH tersebut. Orang yang benar-benar bisa membangunkan dan menghidupkan RUH lewat Pendidikan. RUH Pendidikan ini yang ditanamkan dalam sanubari anak didik, sehingga anak didik akan mempunyai akhlak dan moral yang mulia serta sopan santun. Selama ini kita masih menitikberatkan pada IQ (Intelektual Quotation) dan sudah mulai mengembangkan pada EQ (Emotional Quotation) dan belum mengarah pada SQ (Spiritual Quotation). Untuk bisa mengarah pada SQ dibutuhkan orang-orang yang bisa menjadi contoh dan panutan dan orang bisa menghidupkan RUH (Spiritual) lewat Pendidikan tadi (Bukan Pembelajaran).

Bila saya coba hubungkan antara harapan dan kondisi realita yang ada di lingkungan anak didik kita, jelas sekali terlihat bahwa RUH Pendidikan kita sedang sekarat. Dalam artian kita tidak mempunyai orang-orang yang bisa menjadi contoh, panutan yang utama bisa menghidupkan kembali RUH Pendidikan baik untuk skala nasional maupun skala lokal. Kalau pun ada orang yang bisa dan mampu untuk membangunkan RUH Pendidikan ini maka orang tersebut kemungkinan besar akan disisihkan atau diasingkan.

Demikian sedikit intermezo dari saya sehubungan dengan Hari Pendidikan. Saya mohon maaf atas tulisan ini bilamana ada yang merasa tersinggung atau tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Karena yang kami bincangkan adalah kondisi pendidikan di sekolah-sekolah khususnya di seputaran Jabode. Mudah-mudahan dengan sekilas tulisan saya ini membawa inspirasi bahwa kita mulai membangunkan kembali RUH Pendidikan karena kita bagian dari RUH tadi. Semoga pendidikan di negeri ini menjadi pendidikan yang melahirkan manusia yang seutuhnya  baik di tingkat IQ, EQ dan SQ. Amin

0 Response to "Ruh Pendidikan Kita yang Sekarat"

Posting Komentar