Buruknya Pelayanan Rumah Sakit Di INDONESIA

Artikel ini dikutip dan disadur dari http://www.triomacan2000.net/2012/07/buruknya-pelayanan-rumah-sakit-indonesia.html:

Pelayanan Rumah Sakit dan dokter di indonesia termasuk paling buruk sedunia. Buruk dalam artian rendahnya kualitas media dan moral.
Para dokter dan RS di Indonesia belum memandang pasien sebagai “manusia” melainkan hanya sebagai objek medis yang bisa diperlakukan sesuka hati. Kita mulai dari pelayanan Rumah Sakit. Meski sudah ada UU No.44/2009, mayoritas Rumah sakit belum melaksanakan UU tersebut secara utuh.

Hampir semua RS di Indonesia bersifat komersial dan orientasi bisnis, cari untung yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan kelemahan pasien. Sesuai UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, pasien dan/atau keluarganya berhak atas semua informasi terkait dengan penyakit si pasien. Pasien/keluarga pasien berhak tahu tentang rencana tindakan medis yang akan dilakukan oleh RS/dokter, estimasi biayanya dan persetujuan pasien/keluarga. Jika pasien/keluarga pasien tidak diberitahu tentang rencana tindakan medis, estimasi biaya dan tidak ada persetujuan, maka Rumah Sakit/dokter dapat dituntut, Atau setidak-tidaknya, keluarga pasien/pasien tidak wajib membayar biaya perobatan selama dirawat di Rumah sakit tersebut.

Modus operandi kecurangan Rumah Sakit utamnya dilakukan melalui pembebanan biaya rumah sakit yang sangat berlebihan alias tidak wajar. Pembebanan biaya RS yg tidak wajar itu lebih menjadi-jadi jika terkait dgn perawatan pasien di ruang ICU/gawat darurat. RS sering “merampok”. Dalam perawatan ICU, RS cenderung memanfaatkan posisi pasien/keluarga pasien yg sangat lemah dan terjepit sehingga RS bebas berbuat sesuka hati. Rata-rata ruang ICU di jakarta kenakan tarif 1 juta/hari. Diluar biaya dokter, obat dan alat kesehatan. Sehingga bisa saja per hari kena 5-10 jt. Keluarga pasien yg diruang ICU biasanya diminta tanda tangan persetujuan agar RS/dokter boleh lakukan tindakan medis apapun tnp pertanggungjawaban. Artinya RS/dokter dibebaskan dari tanggung jawab jika terjadi sesuatu hal yg buruk terhadap pasien. Perjanjian ini tentu saja melanggar UU dan kriminal.

Kita fokus pd pelayanan RS/dokter terlebih dahulu. Pasien RS di Indonesia tidak mendapatkan pelayanan standar sebagaimana mestinya. Berbeda dengan di ICU/UGD di luar negeri, ICU/UGD di Indonesia umumnya dijaga oleh dokter-dokter muda non spesialis yang miskin pengalaman.

Di luar negeri, Ruang ICU/ICCU selalu ditugaskan dokter2 spesialis terbaik yg memang sangat dibutuhkan pasien ICU. Di Indonesia, dokter2 spesialis/senior merasa jatuh harga dirinya jika ditugaskan di Ruang ICU. Mereka hanya sesekali datang jenguk pasien. Dokter2 di indonesia baik di ICU ataupun ruang rawat inap hampir semuanya hanya bersedia datang sebentar 5-10 menit untuk periksa pasien. Bahkan terhadap pasien yang butuhkan beberapa dokter spesialis pun, RS hampir tidak pernah beri pelayanan standar dengan kumpulkan dokter-dokter secara bersamaan. Dokter-doter itu jadwalnya tidak sama dan tidak pernah concern/serius bahas penyakit dan rencana tindakan medis secara langsung bersama-sama. Para dokter itu menilai waktu mereka adalah “emas”. Cukup 5-10 menit lihat pasien dan selanjutnya serahkan pada dokter muda /perawat. Berbeda halnya jika kita berobat di RS luar negeri. Begitu indikasi penyakit diinformasikan, tim dokter tersedia untuk bahas rencana tindakan. Dokter-dokter di indonesia yang meskipun sudah dibatasi maksimal praktek di 3 RS, tetap saja sangat sulit dijumpai keluarga pasien untuk peroleh informasi.

Para dokter di Indonesia merasa sangat “rugi” jika mereka luangkan waktu untuk berkomunikasi dan bahas kondisi pasien scra lengkap dan detail. Dokter2 Indonesia juga sangat jarang infokan tentang rencana tindakan medisnya, alasannya, impilikasinya apalagi biayanya kepada keluarga pasien. Nah, jika 1 dokter hanya boleh bekerja di 3 RS, harusnya waktu dokter yg tersedia utk pasien cukup banyak. Tapi faktanya, dokter2 kayak “hantu”. Tidak aneh jika banyak keluarga pasien utamanya yang dirawat di ruang ICU, tak pernah bertemu dokter yang merawat meski sudah 1 minggu di ruang ICU.

Dokter2 di Indonesia umumnya pelit bicara. Malas berbagi informasi. Seolah-olah semua info itu hanya untuk mereka saja. Keluarga pasien diabaikan. Dokter2 di indonesia juga “tidak senang” jika ada keluarga pasien yg kritis dan peduli dengan hak2nya melalui banyak bertanya kepada dokter.

Pengalaman saya pribadi dan teman2 saya cukup banyak terkait dengan pelayanan dokter2 indonesia yg sangat tidak profesional dan tidak beradab. Bahkan banyak sebenarnya tindakan medis dokter yg keliru yg sebabkan pasien bukannya sembuh setelah dirumah sakit tp malah makin sakit. Sebagian besar pasien yg semakin sakit ketika dibawa ke RS adalah karena penanganan medis yang salah atau disengaja salah oleh dokter. Dokter2 sering salah kasih obat kepada pasien yang berakibat pasien semakin sakit dan bahkan sering fatal alias menemui kematian di rumah sakit.

Seorang senior saya misalnya. Dia membawa istrinya yg menderita sesak bernafas ke RS Gleanegles. Disuruh rawat inap di RS tersebut. Keesokannya, istri senior saya bukannya makin sembuh tapi malah makin sakit dan dioper ke UGD/ICU. Setelah di ICU keadaan makin parah. Senior itu mulai curiga ada yang tak beres terkait pelayanan medis di ICU RS gleaneagles itu. Pertanyaan2nya dijawab sekedarnya oleh dokter2. Akhirnya dia putuskan utk pindahkan istrinya ke RS Elizabeth Singapore. Itu pun setelah berdebat sengit dulu dengan pihak RS Gleneagles. Sesampai di RS Elizabeth Singapore, pasien disambut 5 dokter spesialis senior. Mereka diskusikan intensif mengenai kondisi pasien tersebut. Ternyata ditemukan bahwa kondisi pasien bisa menjadi semakin parah selama di RS gleneagles karena salah tindakan medis dari dokter2 disana. Pemberian oksigen yg berlebihan dan tidak tepat pada pasien menyebabkan darah pasien terkontaminasi CO2 sampai pada tingkat 100%. Fatal. Dokter spesialis paru2 yang jadi pemimpin tim segera lakukan tindakan bolongi tenggorokan pasien untuk permudah pernapasan. Semua cairan dalam tubuh pasien yg sudah mengandung racun dikeluarkan dan diganti dengan yang sehat. 3 hari kemudian, pasien sudah bisa berjalan-jalan. Namun, efek dari keracunan CO2 dalam darah itu tetap fatal. Organ-organ vitalnya banyak yang sudah rusak. Harus dipulihkan secara bertahap dan kontinu. Pada hari ke 5 pasien tersebut sudah bisa pulang ke Jakarta meski secara berkala harus berobat untuk sembuhkan organ-organ vitalnya yang sudah kena dampaknya.

Nah, bandingkan dengan RS di Indonesia. Jarang sekali pasien yang dirawat di ruang ICU, 3 hari kemudian bisa sembuh. Sembuhnya lama atau mati. Senior saya yg pejabat tinggi di Depkes beberapa hari yang lalu saya telpon dan tanyakan tentang standar pelayanan medis di ICU. Komentarnya sangat miring. Katanya : RS di Indonesia umumnya manfaatkan Ruang ICU untuk keruk sebesar-besarnya uang pasien. Semua obat dan alkes diberikan sangat berlebihan. Ruang ICU kesempatan bagi RS untuk cetak tagihan sebesar2nya ditengah-tengah kondisi pasien dan keluarga yang “pasrah”. Sudah kayak rampok aja. Bahkan lucunya, banyak RS yang tidak bolehkan keluarga pasien beli obat diluar dan tidak mau berikan resep obatnya. Alasannya : peraturan Rumah Sakit. Padahal peraturan RS yg seperti itu bertentangan dengan UU No. 44/2009 tadi. Tapi banyak keluarga pasien yang tidak tahu dan tak mengerti. Contoh nyata adalah pada keluarga pasien yg beberapa hari ini saya kenal selama di RS. Sehari bapaknya dirawat di ICU, dia sdh habis 11 juta. Puluhan jenis obat, lab dan alkes diberikan pada pasien tersebut. Uang jaminan 25 juta dinyatakan kurang dan harus ditambah 25 juta lagi. Mumet!. Kasihan melihatnya, saya lalu sarankan dia untuk periksa semua obat yang akan diberikan RS pada pasien (bapaknya) dan sarankan dia beli diluar. Saran saya diikuti oleh teman tersebut. Dia minta diberikan resep jika bapaknya akan diberi obat. Pihak RS tidak mau. Tidak setuju. Alasan RS : 1. Peraturan RS mengharuskan tebus obat di apotek RS 2. Teman saya itu sudah tandatangan persetujuan. Dia bingung. Lalu, teman itu saya bantu. Saya minta dia ajak saya bertemu dengan petugas RS yg menolak tadi. Ketemu. Saya bicara sama petugas RS. “anda mau saya penjarakan atau saya tampar? ” tanya saya kepada petugas RS. Dia kaget ketakutan. “panggil pimpinan kamu kemari sekarang!” ujar saya. Pimpinannya datang menemui kami. Semula masih ngotot berlindung dibalik peraturan RS. Lalu saya bilang : “peraturan RS tdk boleh langgar UU”. Saya ancam akan gugat RS dan lapor ke kemenkes dan polisi. Lalu dia dengan terpaksa setuju buatkan resep untuk dibeli diluar RS. Mau tau berapa bedanya? Obat dgn jumlah dan jenis yg sama yg sebelumnya harganya 5.9 juta di RS, ternyata hanya 3.1 juta di luar RS. Gila.

Ada lagi pengalaman lain selama 10 hari saya di RS. Ada pasien yg diharuskan HD (cuci darah) oleh dokter RS tersebut dengan alasan kalium pasien tinggi. Kadar kalium pasien tercatat 6.7. Setelah di CVC hanya turun jadi 6.2. Masih diatas normal yg dibawah 5. Pasien diharuskan cuci darah. Untuk cuci darah (HD) itu keluarga pasien diminta tambah deposit 50 juta. RS bilang harus cuci darah jika tidak mau pasien meninggal. Keluarganya panik. Semula sudah setujui. Tapi saya sarankan utk second opinion ke dokter lain. Mereka punya saudara dokter yang sarankan pindah RS. Pihak RS tidak izinkan pasien pindah apalagi bantu cari RS lain. Keluarga pasien disuruh cari sendiri. Bahkan petugas RS ancam dan takut2i. Akhirnya keluarga pasien dapat rumah sakit lain dan ngotot minta dipindahkan. Akhirnya pasien disetujui RS pindah dan diangkut ambulan RS itu. Biaya ambulance untuk pindahkan pasien dikenakan 3 juta utk jarak tempuh yg ga sampai 10 KM itu. Hampir saja keluarga pasien itu ngamuk-ngamuk. Setelah pindah ke RS lain, diperiksa dengan dokter disana, diputuskan tidak perlu HD (cuci darah). Diberi obat saja. Besoknya Kalium turun jd 4.7.

Ada contoh lain tentang pelayanan medis RS atau dokter Indonesia yang amburadul dan commercial oriented? Banyak. Istri teman saya yang baru saja keguguran, tiba2 mengeluh kesakitan hebat di pangkal pahanya. Dia dilarikan ke RS Islam Kebayoran. Sampai disana, prof. Dr yang memeriksa bilang ini gejala usus buntu dan harus dioperasi. Minta deposit 10 juta. Operasi dilaksanakan secepatnya. Teman saya semula setuju untuk operasi tersebut. Kebetulan saat itu dia telpon saya. Saya anjurkan untuk second opinion. Dia setuju. Telpon dokter lain. Oleh dokter lain, pasien diminta utk dibawa ke RS fatmawati. Sampai disana diperiksa intensif. Kesimpulan : tidak ada gejala usus buntu. Sakit pada pangkal paha dan perut tersebut hany disebabkan karena pasien terlalu banyak jalan ketika baru habis keguguran. Dikasih obat. Sembuh.

Mau contoh yg lebih gila lagi? Teman saya tinggi badannya tdk normal. Dia khawatir dan bawa ke dokter terkenal di kawasan rawamangun jaktim. Oleh sang dokter terkenal itu disarankan utk disuntik 50 kali hormon pertumbuhan secara teratur. Dia awalnya setuju. Tapi kasihan dengan anaknya. Dia sulit bayangkan anaknya akan disuntik 50 kali dalam waktu lama. Dia batalkan. Kemudian dia bertemu dengan Dr. Pulungan. Dokter Pulungan ini adalah Presiden asosiasi dokter ortopedi se asia pasific. Teman saya cerita tentang advis dokter yang sebelumnya. Dokter Pulungan itu kaget bukan kepalang. Ternyata dokter yg sangat terkenal yang teman saya pernah datangi itu bukan dokter ortopedi. Penipu. Dokter yang sangat terkenal dan banjir pasien itu adalah dokter andrologi atau kesuburan jika saya tidak salah. Advisnya pun keliru besar. Nah, itulah sekilas tentang pelayanan dokter2 dan RS di indonesia yg tidak beradab dan jadi mafia kesehatan di Indonesia. Korbannya bisa siapa saja.

Bahkan mantan dirut Asuransi PT. Bumiputera pernah anaknya jadi korban mafia kesehatan. Anaknya dirawat di RS dan diberi tindakan berlebihan. Darah anaknya setiap jam disedot dengan alasan untuk pemeriksaan laboratorium yg sebagian besar sama sekali tidak ada kaitan dengan penyakit si anak. RS dengan sejuta alasan manfaatkan pasien untuk pakai semua alkes yang ada di RS agar pasien nanti bayar biayanya. Untuk percepat tutupi investasi. Selain merampok uang pasien dengan tindakan medis yg sangat berlebihan, juga dengan cekokan obat2an yg juga berlebihan. Harganya juga selangit. Hasil dari pelayanan RS/dokter2 yg biadab ini : pasien bukan semakin sembuh tapi semakin parah sakitnya bahkan mati. RS/dokter tak peduli. Bagi RS/dokter2 seperti ini pasien adalah objek. Bukan manusia, bukan orang. Diperlakukan lebih rendah daripada pasien binatang. Mafia kesehatan di Indonesia sudah berkuasa puluhan tahun.

Kita baru 3 tahun punya UU Rumah Sakit. Belum punya UU profesi medis lainnya. Selama pasien dan keluarga pasien tidak kritis dan cerdas, pasien dan keluarganya akan terus diperdaya dengan pelayanan jelek dan biaya mahal. Harga obat2an yang mahal yang kandungan biaya “pemasaran dan lain2nya” mencapai 80% dari harga obat yg sesungguhnya harus diakhiri. Dibasmi. Praktek-praktek mafia kesehatan utamanya dalam pemberian tindakan medis yang tidak semestinya, berlebihan dan ngawur harus dipidana. Dihukum penjara. Bayangkan saja, peringkat kualitas pelayanan medis Indonesia itu terburuk se Asia. Bahkan lebih buruk dibandingkan Bangladesh sekalipun.

Penutup, saya hanya sarankan, jika teman ketemu dengan praktek mafia kesehatan ini : LAWAN! Jangan inferior berhadapan dengan dokter-dokter dan Rumah Sakit. Jika anda tidak sanggup atau tidak berani berhadapan dengan mafia kesehatan di RS, minta bantuan pengacara atau aktivis YLKI kesehatan. Sudah saatnya rakyat berperan aktif berantas mafia kesehatan. Apalagi pemerintah kita (Depkes) sekarang ini tidak berpihak pada rakyat. Jadi antek mafia.

Sumber :
http://www.triomacan2000.net/2012/07/buruknya-pelayanan-rumah-sakit-indonesia.html
http://www.hendrawan-notes.blogspot.com/2014/05/buruknya-pelayanan-rumah-sakit-di.html

0 Response to "Buruknya Pelayanan Rumah Sakit Di INDONESIA"

Posting Komentar