Artikel ini ditulis oleh Zahir Makkaraka di portal edukasi.kompasiana.com
Pendidikan sebagai Instrumen Rekayasa Masa Depan
Salam pagi kompasiana! Tadi malam sempat membaca tulisan Anies Baswedan yang dimuat portal HMI yang mengangkat opini tentang masa depan indonesia. Hal yang paling menarik menurutku ada dalam poin kelima ditulisan tersebut.
Sesuai dengan kompetensi saya saat ini, sangat relevan ketika kita membincangkan lebih jauh dan lebih dalam “Bagaimana menjadikan pendidikan sebagai instrumen rekayasa masa depan?”. Secara keilmuan dan pengalaman di dunia pendidikan, mungkin saya tidak pantas dan layak meperdebatkan masalah ini. Sekedar menyampaikan opini bahkan kegundahan hati melihat realitas pendidikan kita saat ini.
Para praktisi pendidikan, seperti guru ataupun dosen di lembaga pendidikan ataupun disekolah formal; pelatih pada tempat kursus maupun lokakarya bahkan para pemandu pelatihan diberbagai arena pendidikan non-formal; pengajar di pendidikan rakyat (popular education) dikalangan buruh, petani maupun rakyat miskin, banyak yang tidak sadar bahwa ia tengah bergelut dan terlibat dalam pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Umumnya orang memahami pendidikan sebagai kegiatan mulia yang selalu mengandung kebaikan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha pendidikan yang selalu dimuliakan dan mengandung kebajikan tersebut mendapat kritikan mendasar oleh almarhum Paulo Freire awal tahun 70an serta Ivan Illich Pada dekade yang sama. Freire dan Illich menyadarkan orang banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini dianggap sakral dan penuh kebaikan, ternyata mengandung juga penindasan (Lihat buku Paulo Freire “Pedagogy of Opperesed” dan Ivan Illich “Dischooling Society“).
Pendidikan merupakan suatu berkah dari Maha Pencipta terhadap ciptaan-Nya. Manusialah salahsatunya mahkluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan itu bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu tetapi justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai mahkluk yang bebas dan berakal budi. Proses menjadi manusia terjadi di dalam habitus kemanusiaannya yaitu alam sekitar, keluarga, lingkungan masyarakat lokal, habitus suku dan adat-istiadatnya, dan berakhir pada masyarakat yang lebih luas, yakni masyarakat negara dan umat manusia.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pendidikan merupakan upaya mencerdeskan kehidupan bangsa dan merupakan hak seluruh rakyat untuk menuntutnya. Amanah dari dasar negara kita (UUD 1945) diartikan bahwa bangsa cerdas adalah bangsa yang berdiri sendiri, berdikari, dan mandiri. Hal ini diperkuat pada pasal 3 UU No. 23 Tahun 2003, bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan merupakan sesuat yang ideal untuk dicapai. Perdebatan sekarang adalah bagaimana mewujudkan tujuan yang mulia itu. Kita sudah mahfum bahwa pendidikan merupakan sebuah proses yang panjang dan beberapa elemen atau subsistem yang ada di dalamnya harus terpadu dan berjalan bersinergi. Pemerintah, tenaga pendidik,tenaga kependidikan, sarana prasarana, kurikulum, sistem evaluasi,peserta didik, dan masyarakat merupakan bagian vital dalam sistem pendidikan kita. Sinergitas semua elemen ini dalam rangka mencerdaskan bangsa Indonesia sangat perlu ditekankan. Keterpaduan inilah yang akan mengantarkan kita pada “Memenangkan Masa Depan Indonesia”.
Sejak era reformasi, terjadi loncatan-loncatan besar dalam kehidupan bangsa Indonesia, begitupan dalam dunia pendidikan. Loncatan perubahan ini disertai pula dengan gejala elitis dalam dunia pendidikan nasional seperti lahirnya berbagai sekolah bertaraf internasional (Alhamdulillah, oleh MK, SBI/RSBI sudah dimakzulkan) yang hanya diperuntukkan bagi kelompok yang berduit. Pendidikan tinggi berebutan menjadi world class university yang pada hakikatnya menjauhkan pendidikan tinggi dari jangkauan anak-anak dari keluarga miskin atau warga kelas menengah ke bawah.
Loncatan besar ini juga seirama dengan tuntutan globalisasi. Dalam era globalisasi persaingan semakin ketat tidak hanya produk tetapi juga sumber daya manusia. AFTA yang mulai berlaku tahun 2003 yang lalu mempunyai dampak yang sangat besar terhadap Indonesia, terkhusus juga dunia pendidikan. SDM Indonesia harus bisa bersaing dengan SDM asing. Untuk itu diperlukan kesiaapan SDM yang handal antara lain mengenal kompetensi karakter, komunikasi, kemandirian, dan adaptasi yang diharapkan lebih mampu bersaing di dunia internasiona. Saya mengutip kata-kata Anies Baswedan, “Indonesia akan memasuki era di mana mobilitas manusia lintas bangsa dan kompetensi yang diuji menggunakan kompetensi standard baru yang tinggi dan di situ produk anak didik kita akan diuji akan survive atau tidak. Bahasa kerennya biasa disebut meritokrasi. Merit system. Satu sistem berdasarkan prestasi. Kalau Anda punya prestasi, Anda dapat tempat, Anda tak punya prestasi, Anda tak punya tempat”.
Kembali ke tujuan pendidikan kita dan mencoba mengaitkannya dengan “Pendidikan sebagai Instrumen Rekayasa Masa Depan.” Anies Baswedan mengatakan bahwa politik pendidikan rekayasa masa depan selama ini terlewatkan, kita melihat pendidikan semata-mata soal kecerdasan, semata-mata soal meningkatkan kualitas manusia. Kita lupa bahwa politik pendidikan itulah yang menentukan siapa dididik apa hari ini menentukan siapa duduk di mana hari esok. Begitu rumusnya pada ‘who gets what today.’ Kita harus melihat pendidikan lebih dari sekedar alat mencerdaskan, kita harus melihat pendidikan sebagai instrumen rekayasa masa depan.
Sejalan dengan pendapat Anies di atas, tujuan pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional hanya bersifat “ke-dini-an”, dalam artian tujuan pendidikan sekedar diarahkan pada tujuan yang temporer atau hanya “pada saat ini”, tidak diarahkan kepada tujuan jangka panjang. Padahal pendidikan bagian dari kemerdekaan dan kemandirian bangsa, tentu terarah pada keberlangsungan kenegaraan kita. Pendidikan sebagai instrumen rekayasa masa depan bangsa.
Beberapa fakta yang dihadirkan Anies Baswedan. Dari tahun 1983-2003 mengirimkan 87.000 orang untuk sekolah sains dan teknologi di Amerika serikat. 87.000..! Kita di Indonesia tiap tahun baru kira-kira baru 800 doktor yang lulus. China hari ini 33-34ribu doktor per tahun dihasilkan. Memangnya China mengirimkan doktor untuk jadi orang liberal? Berpikir kapitalis? Tidak, mereka ambil ilmunya untuk melawan. Kita di sini melawan Amerika itu dengan pidato hari Jum’at. Setelah pidato kita puas. 20 tahun kemudian dunia tidak berubah. Mereka tak banyak pidato, rekayasanya lewat pendidikan, ambil anak muda, kirimkan, setelah 20 tahun semuanya takut pada mereka.
Sekiranya sistem pendidikan kita mengedepankan dan memperhatikan prestasi, bukan prestise (merit system /meritokrasi) mungkin kita bisa merebut “Masa Depan” itu. Kaum terpelajar-cerdik cendikia harus dibangunkan dari lelap tidurnya, segera memasuki alam nyata, berbuat, berkarya, dan berprestasi, wujudkan mimpi. M. Jusuf Kalla mengatakan bahwa kampus menjadi sebuah arena perlombaan untuk mengejar perkembangan ilmu pengetahuan. Jika tidak berpartisipasi dalam kompetisi itu, maka kita akan tertinggal.(http://kampusparmad.com/index.php/artikel/lihat/10/1347988299000)
Kalau sudah seperti itu, siapapun pemimpinnya 20-30 tahun mendatang, kita pasti panen raya sumber daya manusia yang akan menyumbangkan diri dan jiwanya untuk bangsa dan Negara ini, sekecil apapun. Indonesia nanti akan menjadi tempat persemaian bibit bunga-bunga bangsa, bunga harum masa depan.
Catatan:
Zahir Makkaraka adalah Mahasiswa PPs UNM PRODI Penelitian & Evaluasi Pendidikan.
http://www.hendrawan-notes.blogspot.com/
0 Response to "Pendidikan sebagai Instrumen Rekayasa Masa Depan"
Posting Komentar