Pada era pemerintahan KH. Abdurahman Wahid atau biasa dipanggil Gusdur, mencoba menetaskan ide untuk menjadikan sistem pendidikan di Indonesia satu atap, dengan kata lain semua masalah pendidikan ada di satu payung yaitu “Pendidikan Nasional”.
Sayang, gagasan tersebut tidak menuai hasil optimal justru mengundang Pro-kontra dikalangan masyarakat, khususnya umat muslim. Pasalnya, ide tersebut dikwatirkan bisa menimbulkan sekulerisasi. Apalagi dalam kenyataannya gagasan itu banyak mendapat dukungan dari kalangan non-muslim.
Di Indonesia kita mengenal dua istilah sistem pendidikan. Dualisme itu tergambar pada adanya dua departemen yaitu, Departemen Pendidikan Nasional (DIKNAS) dan Departemen Agama (DEPAG). Departemen Pendidikan Nasional membina sekolah yaitu meliputi; SD, SLTP, SMU dan PTU. Sementara Departemen Agama yaitu; MI, MTs, MA, IAIN dan Pesantren. Menurut Prof. DR. Mastuhu, dualisme IPTEK dan pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Bukti konkrit pendidikan umum misalnya, pada pelajaran agama seolah dianak tirikan. Dengan durasi waktu yang hanya dua jam dalam satu pecan, sehingga pembahasannya sekedar melibatkan pokok-pokoknya saja, kurang mendetail. Akibatnya, diberbagai tempat tindak kriminalitas (violence) dikalangan pelajar drastis meningkat, seperti tawuran antar sekolah, pergaulan bebas, penggunaan obat-obat terlarang dan lain-lain.
Di tengah dilematisnya pendidikan nasional ini, jauh sebelumnya beberapa pesantren telah bangkit dengan berani memfusikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan porsi sama besar. Taruh saja PP. Al-Amien Prenduan, PP. Modern Gontor sebagai contoh. Dengan tetap mempertahankan pengajian kitab kuning (kitab klasik) sebagai ciri khasnya. Kedua pesantren ini bersikap inklusif terhadap perkembangan zaman. Penyediaan sarana alat teknologi yang lengkap (internet, komputer, percetakan, dll), pelaksanaan wajib dua bahasa asing (bahasa inggris dan bahasa arab), kebebasan berkreasi (teater, band, sastra, penciptaan beberapa majalah/bulletin, dll), egaliter (sangat menghargai perbedaan diantara beragam paham yang dianut oleh masing-masing semisal; Muhammadiyah, NU, al-Irsyad), kebebasan berfikir (mempelajari karya-karya ulama besar; Muhammad Abduh, Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Farabi, bahkan karya Karl Marx, Karen Amstrong, dll) ditanamkan pada setiap anak didik (santri), dan kursus-kursus keterampilan-keterampilan seperti menjahit, elektro, komputer, dan lain sebagainya makin mengukuhkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Hal ini selaras dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Disini pemerintah menginginkan output sebuah lembaga pendidikan bukan sekedar kecerdasan intelektual dan skill semata, namun harus dibarengi dengan sikap dan nilai-nilai terpuji sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Maka dari itu pesantren secara dejure dan defacto sudah memenuhi kriteria untuk menjadi salah satu alternatif terbaik pendidikan di masa depan.
Sejujurnya sistem pendidikan pesantren memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Disamping merupakan institusi yang perkembangannya ditopang dan awalnya dibangun oleh masyarakat sekitar, pesantren lebih mandiri baik dibidang manajemen keuangan, paket kurikulum yang ditawarkan, serta dalam menentukan pola pendidikannya. Dengan kebijakan ini para santri diarahkan, dibimbing dan dilatih supaya tidak canggung lagi. Dan atas landasan keagamaan dan IPTEK diharapkan menciptakan alumni-alumni yang “khoiru ummatin ukhrijat linnaasi” yang tentunya akan menjadi panutan bagi seluruh masyarakat baik lokal, nasional bahkan tingkat internasional.
Hal serupa di atas sesuai dengan ajaran Islam senantiasa memotivasi dan mengajarkan ummatnya pada kehidupan yang dinamis, progresif dan bersifat seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya. Ajaran Islam memang tidak boleh diamalkan sepotong-sepotong sebab ia merupakan totalitas kehidupan dunia dan akhirat. Bagi dunia Islam, adanya dikotomi pendidikan agama dan umum akan membawa dampak yang merugikan terhadap kemajuan umat Islam itu sendiri. Pada suatu kesempatan Rasulullah pernah bersabda, “Jika ingin hidup bahagia di dunia ia harus menguasai ilmunya, jikalau ingin hidup bahagia di akhirat ia harus menguasai ilmunya dan jika ingin hidup bahagia di dunia dan akhirat ia harus menguasai kedua ilmu tersebut”.
Tugas pesantren membina santrinya dengan nilai-nilai keagamaan dan IPTEK agar menjadi manusia berakhlak mulia dan mempunyai wawasan yang luas. Karena dengan demikian akan mampu menjawab berbagai masalah aktual yang dihadapi masyarakat. Dan para santri dituntut untuk berpacu dalam arus teknologi juga pengamalan dan penghayatan ajaran Islam secara kaffah (utuh), benar dan konsisten terhadap tuntunan agama Islam yang sumber utama pendidikannya adalah Al-Qur’an dan Hadist, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Jadi, sukses di dunia dan akhirat merupakan orientasi pendidikan pesantren yang nilai-nilai dasarnya terbingkai dalam kegiatan: ilmu, amal dan berakhlak mulia.
Secara konseptual, baik pendidikan agama (pesantren) maupun pendidikan umum (nasional) tujuan utamanya demi membina manusia seutuhnya dengan berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat, Negara dan agama. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tiga aspek dominan pendidikan secara terpadu yaitu: wawasan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Akan tetapi dunia pesantren memiliki keistimewaan lebih dibanding dengan lembaga pendidikan lain dalam menempuh cita-cita mulai tersebut. Di Pesantren, Kyai dan Ustadz akan selalu meluangkan waktunya untuk kepentingan sang santri. Misalnya sebagai tempat untuk konsultasi mengenai masalahnya. Hal ini merupakan perwujudan dari sikap mereka (ustadz) yang menganggap bahwa santri adalah makhluk terhormat sebagai titipan Allah yang harus diperlakukan secara manusiawi, karena ia merupakan tunas ulama dan umara’, sehingga diharapkan nantinya gema Islam tetap semarak. Hal senada juga dipaparkan oleh mantan Menteri Agama Prof. DR. Mukti Ali bahwasanya secara ideal seorang santri harus mampu merealisasikan antara otak (head), akhlak(heart) dan keterampilan (hand). Maka dari itu kendati para santri sampai detik ini masih bergumul dengan kitab kuning, tentunya mereka sudah siap menghadapi kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya. Sebab kemajuan zaman beserta dampaknya merupakan tantangan yang harus dijawab secara keislaman.
Kita juga tidak bisa menutup diri dari kenyataan bahwa masih ada sebagian masyarakat yang alergi terhadap eksistensi pesantren. Mereka menganggap dunia pesantren kampungan, konservatif, kolot dan feodalistik. Ir. Faizal Muzammil mengatakan “Orang tua nampaknya lebih senang memilih sekolah-sekolah umum, karena menurutnya lebih berpeluang di bidang kerja dan menjanjikan dimasa yang akan mendatang. Sedangkan untuk ke pesantren mereka masih berfikir berulang-ulang”. Kondisi lain yang kurang mengenakkan (kesan miring) terhadap pesantren adalah Lembaga pendidikan ini dianggapnya sebagai tempat penitipan anak-anak bermasalah. Kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Dalam benak mereka masih berkoar asumsi bahwa pesantren hanyalah merupakan kawah candradimuka, tempat mencetak dan berkumpulnya orang-orang shaleh. Maka dari itu, mereka mengirimkan putra-putrinya ke pondok agar mempunyai teman bergaul yang shaleh sehingga dapat merubah perilaku liarnya (nakal).
Untuk merubah mitos negatif tentang pesantren memang sudah waktunya dimulai, minimal mempertahankan citra positif yang sudah dimilikinya. Bagaimanapun pencitraan yang kurang sedap terhadap pesantren menurut Ustadz Syafi’ Rofik, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren di Kudus menuturkan “kekurangan pengetahuan dan informasi yang benar tentang pesantren membuat masyarakat memberi penilaian yang salah”. Oleh karena itu, mari kita umat Islam khusus dari pihak pesantren untuk berjuang keras, sehingga pesantren tidak hanya dijadikan sebagai lembaga alternatif, tetapi menjadi lembaga pendidikan prioritas dan unggulan yang pantas dibanggakan kualitasnya oleh umat Islam sebagai basis keilmuan agama dan IPTEK serta kembali menjadi pusat peradaban sebagaimana ditorehkan pada masa Rasulullah dan Bani Abbasiyah.
Apalagi satu tahun kinerja kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, atau sapaan akrab bapak SBY, memang menunjukkan titik plus peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dengan memprioritaskan anggaran pendidikan berkisar 20 % lebih dari anggaran APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Oleh karena itu, mari bersama-sama kita sukseskan Lembaga Pendidikan yang idealis ini.
Catatan:
R.A. Syukuri Nikmah adalah guru kimia Matsaratul Huda
Sayang, gagasan tersebut tidak menuai hasil optimal justru mengundang Pro-kontra dikalangan masyarakat, khususnya umat muslim. Pasalnya, ide tersebut dikwatirkan bisa menimbulkan sekulerisasi. Apalagi dalam kenyataannya gagasan itu banyak mendapat dukungan dari kalangan non-muslim.
Di Indonesia kita mengenal dua istilah sistem pendidikan. Dualisme itu tergambar pada adanya dua departemen yaitu, Departemen Pendidikan Nasional (DIKNAS) dan Departemen Agama (DEPAG). Departemen Pendidikan Nasional membina sekolah yaitu meliputi; SD, SLTP, SMU dan PTU. Sementara Departemen Agama yaitu; MI, MTs, MA, IAIN dan Pesantren. Menurut Prof. DR. Mastuhu, dualisme IPTEK dan pendidikan umum hadir tanpa sentuhan agama. Bukti konkrit pendidikan umum misalnya, pada pelajaran agama seolah dianak tirikan. Dengan durasi waktu yang hanya dua jam dalam satu pecan, sehingga pembahasannya sekedar melibatkan pokok-pokoknya saja, kurang mendetail. Akibatnya, diberbagai tempat tindak kriminalitas (violence) dikalangan pelajar drastis meningkat, seperti tawuran antar sekolah, pergaulan bebas, penggunaan obat-obat terlarang dan lain-lain.
Di tengah dilematisnya pendidikan nasional ini, jauh sebelumnya beberapa pesantren telah bangkit dengan berani memfusikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan porsi sama besar. Taruh saja PP. Al-Amien Prenduan, PP. Modern Gontor sebagai contoh. Dengan tetap mempertahankan pengajian kitab kuning (kitab klasik) sebagai ciri khasnya. Kedua pesantren ini bersikap inklusif terhadap perkembangan zaman. Penyediaan sarana alat teknologi yang lengkap (internet, komputer, percetakan, dll), pelaksanaan wajib dua bahasa asing (bahasa inggris dan bahasa arab), kebebasan berkreasi (teater, band, sastra, penciptaan beberapa majalah/bulletin, dll), egaliter (sangat menghargai perbedaan diantara beragam paham yang dianut oleh masing-masing semisal; Muhammadiyah, NU, al-Irsyad), kebebasan berfikir (mempelajari karya-karya ulama besar; Muhammad Abduh, Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Farabi, bahkan karya Karl Marx, Karen Amstrong, dll) ditanamkan pada setiap anak didik (santri), dan kursus-kursus keterampilan-keterampilan seperti menjahit, elektro, komputer, dan lain sebagainya makin mengukuhkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. Hal ini selaras dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 3 berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Disini pemerintah menginginkan output sebuah lembaga pendidikan bukan sekedar kecerdasan intelektual dan skill semata, namun harus dibarengi dengan sikap dan nilai-nilai terpuji sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Maka dari itu pesantren secara dejure dan defacto sudah memenuhi kriteria untuk menjadi salah satu alternatif terbaik pendidikan di masa depan.
Sejujurnya sistem pendidikan pesantren memiliki banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Disamping merupakan institusi yang perkembangannya ditopang dan awalnya dibangun oleh masyarakat sekitar, pesantren lebih mandiri baik dibidang manajemen keuangan, paket kurikulum yang ditawarkan, serta dalam menentukan pola pendidikannya. Dengan kebijakan ini para santri diarahkan, dibimbing dan dilatih supaya tidak canggung lagi. Dan atas landasan keagamaan dan IPTEK diharapkan menciptakan alumni-alumni yang “khoiru ummatin ukhrijat linnaasi” yang tentunya akan menjadi panutan bagi seluruh masyarakat baik lokal, nasional bahkan tingkat internasional.
Hal serupa di atas sesuai dengan ajaran Islam senantiasa memotivasi dan mengajarkan ummatnya pada kehidupan yang dinamis, progresif dan bersifat seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya. Ajaran Islam memang tidak boleh diamalkan sepotong-sepotong sebab ia merupakan totalitas kehidupan dunia dan akhirat. Bagi dunia Islam, adanya dikotomi pendidikan agama dan umum akan membawa dampak yang merugikan terhadap kemajuan umat Islam itu sendiri. Pada suatu kesempatan Rasulullah pernah bersabda, “Jika ingin hidup bahagia di dunia ia harus menguasai ilmunya, jikalau ingin hidup bahagia di akhirat ia harus menguasai ilmunya dan jika ingin hidup bahagia di dunia dan akhirat ia harus menguasai kedua ilmu tersebut”.
Tugas pesantren membina santrinya dengan nilai-nilai keagamaan dan IPTEK agar menjadi manusia berakhlak mulia dan mempunyai wawasan yang luas. Karena dengan demikian akan mampu menjawab berbagai masalah aktual yang dihadapi masyarakat. Dan para santri dituntut untuk berpacu dalam arus teknologi juga pengamalan dan penghayatan ajaran Islam secara kaffah (utuh), benar dan konsisten terhadap tuntunan agama Islam yang sumber utama pendidikannya adalah Al-Qur’an dan Hadist, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Jadi, sukses di dunia dan akhirat merupakan orientasi pendidikan pesantren yang nilai-nilai dasarnya terbingkai dalam kegiatan: ilmu, amal dan berakhlak mulia.
Secara konseptual, baik pendidikan agama (pesantren) maupun pendidikan umum (nasional) tujuan utamanya demi membina manusia seutuhnya dengan berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur dan memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat, Negara dan agama. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tiga aspek dominan pendidikan secara terpadu yaitu: wawasan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Akan tetapi dunia pesantren memiliki keistimewaan lebih dibanding dengan lembaga pendidikan lain dalam menempuh cita-cita mulai tersebut. Di Pesantren, Kyai dan Ustadz akan selalu meluangkan waktunya untuk kepentingan sang santri. Misalnya sebagai tempat untuk konsultasi mengenai masalahnya. Hal ini merupakan perwujudan dari sikap mereka (ustadz) yang menganggap bahwa santri adalah makhluk terhormat sebagai titipan Allah yang harus diperlakukan secara manusiawi, karena ia merupakan tunas ulama dan umara’, sehingga diharapkan nantinya gema Islam tetap semarak. Hal senada juga dipaparkan oleh mantan Menteri Agama Prof. DR. Mukti Ali bahwasanya secara ideal seorang santri harus mampu merealisasikan antara otak (head), akhlak(heart) dan keterampilan (hand). Maka dari itu kendati para santri sampai detik ini masih bergumul dengan kitab kuning, tentunya mereka sudah siap menghadapi kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya. Sebab kemajuan zaman beserta dampaknya merupakan tantangan yang harus dijawab secara keislaman.
Kita juga tidak bisa menutup diri dari kenyataan bahwa masih ada sebagian masyarakat yang alergi terhadap eksistensi pesantren. Mereka menganggap dunia pesantren kampungan, konservatif, kolot dan feodalistik. Ir. Faizal Muzammil mengatakan “Orang tua nampaknya lebih senang memilih sekolah-sekolah umum, karena menurutnya lebih berpeluang di bidang kerja dan menjanjikan dimasa yang akan mendatang. Sedangkan untuk ke pesantren mereka masih berfikir berulang-ulang”. Kondisi lain yang kurang mengenakkan (kesan miring) terhadap pesantren adalah Lembaga pendidikan ini dianggapnya sebagai tempat penitipan anak-anak bermasalah. Kita tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Dalam benak mereka masih berkoar asumsi bahwa pesantren hanyalah merupakan kawah candradimuka, tempat mencetak dan berkumpulnya orang-orang shaleh. Maka dari itu, mereka mengirimkan putra-putrinya ke pondok agar mempunyai teman bergaul yang shaleh sehingga dapat merubah perilaku liarnya (nakal).
Untuk merubah mitos negatif tentang pesantren memang sudah waktunya dimulai, minimal mempertahankan citra positif yang sudah dimilikinya. Bagaimanapun pencitraan yang kurang sedap terhadap pesantren menurut Ustadz Syafi’ Rofik, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren di Kudus menuturkan “kekurangan pengetahuan dan informasi yang benar tentang pesantren membuat masyarakat memberi penilaian yang salah”. Oleh karena itu, mari kita umat Islam khusus dari pihak pesantren untuk berjuang keras, sehingga pesantren tidak hanya dijadikan sebagai lembaga alternatif, tetapi menjadi lembaga pendidikan prioritas dan unggulan yang pantas dibanggakan kualitasnya oleh umat Islam sebagai basis keilmuan agama dan IPTEK serta kembali menjadi pusat peradaban sebagaimana ditorehkan pada masa Rasulullah dan Bani Abbasiyah.
Apalagi satu tahun kinerja kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, atau sapaan akrab bapak SBY, memang menunjukkan titik plus peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dengan memprioritaskan anggaran pendidikan berkisar 20 % lebih dari anggaran APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Oleh karena itu, mari bersama-sama kita sukseskan Lembaga Pendidikan yang idealis ini.
Catatan:
R.A. Syukuri Nikmah adalah guru kimia Matsaratul Huda
Source : http://nikmahsyukuri.blogspot.com/
0 Response to "Idealisme Pendidikan Pesantren"
Posting Komentar