Kurikulum Pendidikan Pesantren

Kemudian dari kurikulum pesantren, meskipun materi yang dipelajari terdiri dari teks tertulis, namun penjelasan dan penyampaian secara lisan dari kiai juga sangat penting. Baik dari segi lughowi, maknawi dan dalam konteks yang sempit maupun yang lebih luas. 

Dalam pengertian tradisional kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang diajarkan oleh sang kiai. Tanpa rumusan tujuan dan materi yang jelas, tetapi hanya berdasarkan kitab klasik yang memiliki orisinilitas dan legalitas dari pemegang otoritas, yaitu kiai. Walaupun pada sebelum abad ke-18 belum menampakkan pesantren sebagai lembaga permanen, namun bukan berarti kitab kuning tidak atau belum dipelajari. Karena, buku berbahasa Arab pada waktu itu sudah dikenal sejak abad ke 15 dan 16 M. Kitab klasik inilah yang kemudian menjadi jati diri tradisi keilmuan para santri di pesantren. 

Secara umum kurikulum pesantren menurut Karel Stenbrink meliputi : fiqh ibadah, fiqh umum, tata Bahasa Arab, Ushuluddin, Tasawwuf dan Tafsir. Sedangkan dalam pengamatan Nur Cholish Majid Kurikulum pesantren itu meliputi; nahwu – shorof, fiqh, aqoid, tasawwuf, tafsir, hadist, bahasa Arab dan fundamentalis. 
Menurut Abdurrohman Mas’ud, memandang dari sudut kurikulumnya, apa yang dipelajari di pesantren dikelompokkan pada tiga bidang,[1] yaitu : 
  1. Tekhnis; seperti  fiqh, ilmu mustholah hadits, ilmu tafsir, hisab, mawaris, ilmu falaq.
  2. Hafalan; seperti pelajaran Al-Qur’an, ilmu bahasa Arab.
  3. Ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan; seperti aqidah, tasawuf dan akhlaq.

Sedangkan menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberepa ahli, seperti Karell stenbring, Martin Van Bruinessen, Nur Chalish Madjid, KH. Sahal Mahfudz dan lain-lain. dapat kita sederhanakan bahwa pesantren tradisional; dalam bidang akidah berorientasi kepada paham Asy’ari. Sedangkan dalam soal fiqih bermadzhab syafi’i (dan sedikit menerima dari madzhab lainnya). Sedangkan bidang akhlak dan tasawwuf menganut paham Al Ghozali. Persoalan inilah yang kemudian sering mendapatkan kritikan dari modernis, yang  tidak mau terikat dengan sistem madzhab bahkan menyerukan pembukaan pintu ijtihad. Bahkan tradisi kitab kuning adalah membelenggu kreatifitas ummat.

Sementara dalam tradisi pesantren, karya-karya Al Ghozali dianggap sebagai prestasi keilmuan dan spiritual tertinggi. Sedangkan kelompok modern lebih berorientasi kepada Ibnu Taimiyyah.

Hal lain yang mencolok dari tradisi keilmuan pesantren adalah teks-teks klasik dengan berbahasa arab sebagai referensi. Karena mereka berkeyakinan bahwa teks klasik inilah yang memiliki orisinilitas dan bobot kehormatan yang lebih. Bahkan ulama’ tradisional yang mewujudkan karyanya juga dalam bentuk tulisan arab. 

Secara umum pesantren dapat diklasifikan menjadi dua, yakni pesantren salaf atau tradisional dan pesantren khalafatsiu modern. Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik atau lama, yakni berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern.

Sedangkan pesantren khalaf dan modern adalah pesantren yang di samping tetap dilestarikannya unsur-unsur utama pesantren, memasukkan juga ke dalamnya unsur-unsur modern yang ditandai dengan sistem klasikal atau sekolah dan adanya materi ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya. Pada pesantren ini sistem sekolah dan adanya ilmu-ilmu umum digabungkan dengan pola pendidikan pesantren klasik, Dengan demikian pesantrern modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dipermodern pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.

[1] Abdurrachman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Ismail SM dkk (Ed.), Op. Cit., hal. 76
Artikel ini diunduh dari http://www.perkuliahan.com:

0 Response to "Kurikulum Pendidikan Pesantren"

Posting Komentar